EKSPEDISI
GUNUNG WAS
Oleh:
Fathika Fitrania
Di lereng gunung Was
terdapat desa bernama Desa Rambo. Pemimpin Desa Rambo sangat bijak dan
menjunjung tinggi kerukunan antar hewan. Penduduknya diizinkan untuk berburu di
hutan, namun dilarang untuk saling memangsa dan berebut bahan makanan. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk desa biasanya pergi ke pasar Pih, di sana
tersedia hewan ternak, sayur-mayur dan tanaman obat.
Cendana si panda, Andra
si rakun dan Sia si monyet adalah penduduk Desa Rambo, mereka bersahabat. Tiga
sekawan itu gemar berburu di hutan yang tak lain adalah jalur pendakian Gunung
Was. Hal tersebut membuat mereka kerap bertemu dengan para pendaki Gunung Was.
“Ba! Lihat apa ini?”
seru Sia yang berniat menakut-nakuti Cendana dengan laba-laba yang ia temukan.
“Cukup, Sia!” ketus
Cendana yang sudah mulai bosan dengan ulah Sia.
“Teman-teman, ketemu!”
seru Andra sembari mencabut tanaman gingseng.
Tidak hanya memburu
hewan, mereka bertiga juga memburu tanaman langka yang dipercaya bisa menjadi
obat, lalu mereka menjualnya ke pedagang di pasar Pih. Para pedagang tidak asing lagi dengan mereka,
justru para pedagang merasa terbantu dan selalu menanti hasil buruan mereka. Para pedagang dan
penduduk Desa Rambo menyebut tiga sekawan itu dengan sebutan Cendrawasih. Tidak
memiliki makna tertentu, Cendrawasih hanyalah singkatan untuk menyebut nama
Cendana, Andra dan Sia.
Suatu ketika saat
Cendrawasih sedang berburu di hutan, terlihat sekelompok harimau pendaki yang
sedang menuruni tebing. Tampaknya para harimau itu dalam perjalanan pulang
setelah melakukan pendakian.
“Hai anak-anak, apa
yang sedang kalian lakukan?” sapa salah satu harimau pendaki kepada
Cendrawasih.
Cendana yang sedang
membidik burung pun menoleh, begitupula Andra yang sedang menyiapkan jebakan.
“Kami sedang berburu bung,
ada yang bisa kami bantu?” tanya Sia sambil bergelantungan di pohon.
“Oh tidak ada, kami
sudah selesai mendaki dan hendak pulang ke rumah”.
“Kalian pemuda Desa
Rambo sangat beruntung bisa sering menikmati pemandangan dari puncak gunung
Was. Dari semua gunung yang sudah kami daki, tidak ada pemandangan seindah
puncak Was,” kata harimau yang lain.
Cendrawasih pun saling
tatap, sebetulnya diantara mereka bertiga belum ada yang pernah mendaki Gunung
Was.
Malam hari di rumah keluarga
rakun, Andra tengah lahap menyantap makan malam.
“Papa rakun, apakah
papa pernah ke puncak Gunung Was?” tanya Andra. Tampaknya ia masih kepikiran
soal pertemuannya dengan harimau tadi.
Papa rakun pun
menjelaskan, meskipun berada di lereng gunung Was, penduduk Desa Rambo belum
pernah ada yang sampai ke puncak Gunung Was. Mendengar hal itu, muncul dalam
diri Andra keinginan untuk menjadi penduduk desa pertama yang sampai ke puncak
Was. Esok hari saat di sekolah, ia pun mengungkapkan keinginannya pada kedua
sahabatnya. Ternyata mereka bertiga memiliki pikiran yang sama. Alhasil mereka pun
berencana melakukan pendakian ke Gunung Was. Mereka sepakat untuk memulai
pendakian pada pekan depan saat libur sekolah tiba.
Hari yang dinantikan
tiba, Cendrawasih berkumpul di rumah keluarga rakun sebelum memulai
pendakian. Setelah melakukan persiapan
selama sepekan terakhir, mereka terlihat siap memulai pendakian. Usai
berpamitan dengan orang tua, mereka mulai berjalan menuju jalur pendakian Gunung
Was.
Menyusuri hutan adalah
hal biasa bagi Cendrawasih, mereka berhasil melewati hutan tanpa masalah. Lalu,
sampailah mereka di dasar tebing yang terjal. Mereka saling bertatapan.
Tampaknya tidak ada jalan lain selain memanjat tebing itu. Sebelum mulai
memanjat, mereka menyempatkan diri untuk istirahat dan makan bekal terlebih
dahulu.
Andra dan Cendana
sama-sama memiliki cakar yang tajam. Menguntungkan bagi mereka karena cakarnya
bisa menancap di rongga-rongga bebatuan. Sedangkan Sia berayun dari satu pohon
ke pohon lain yang tumbuh di sekeliling tebing. Tidak banyak pohon yang bisa digelantungi,
sehingga Sia sedikit kesulitan menaiki tebing itu. Namun hal tersebut tidak
murunkan semangat Sia, ia tetap berusaha meraih pohon meskipun jaraknya jauh
demi mencapai permukaan tebing.
Sesampainya di
permukaan tebing, mereka disuguhkan dengan hamparan padang rumput hijau nan
indah. Di ujung jalan, tampak sebuah danau. Mereka dengan riang berlari menuju
danau.
“Indah sekali !” seru
Cendana.
“Belum pernah aku
melihat pemandangan seindah ini,” kata Andra.
Setelah beberapa menit menghirup
udara segar dan menikmati pemandangan danau, mereka memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan.
Ketika hendak berjalan,
“Teman-teman sepertinya
aku sudah puas dengan keindahan danau ini,” kata Cendana, yang langsung membuat
Andra dan Sia menoleh. Cendana merasa cukup dengan keindahan danau hingga
membuatnya tidak ingin melanjutkan perjalanan.
“Bagaimana bisa,
setelah susah payah memanjat tebing, kau hanya ingin memandangi danau itu?”
protes Sia.
Cendana yang asyik
mengunyah bambu tidak mengindahkan kata-kata Sia. Andra pun turut membujuk
Cendana. Namun sayang sekali, bujuk rayu yang dilakukan Andra dan Sia untuk
mengembalikan semangat Cendana tidak membuahkan hasil. Mereka berdua pun
melanjutkan perjalanan tanpa Cendana.
Medan yang dilalui
Andra dan Sia semakin ekstrim, jalan berpasir berubah menjadi tanah yang tidak
beraturan, jalan setapak semakin sempit dihimpit jurang dan tebing. Sesekali Sia
mengeluh saat melewati jalan tanpa pepohonan karena ia jadi harus
berjalan. Sementara itu, Andra tanpa
berkeluh kesah menghadapi seluruh rintangan sembari menyemangati Sia.
Sampailah mereka
disebuah tempat yang mengharuskan mereka menyeberangi jurang di atas sebatang
kayu. Andra si rakun bisa dengan cepat merambat di atas kayu, namun ia
mendahulukan Sia.
“Sia, menyeberanglah
dulu, sepertinya kayu ini tidak kuat
jika dilewati kita berdua secara bersamaan,” kata Andra.
“Sebetulnya aku takut
Andra, aku rasa cengkramanku tidak akan kuat untuk menyeberang sejauh itu,”
balas Sia, ragu.
“Kau ingat para harimau
pendaki yang kita temui? Mereka jauh lebih besar dan berat daripada kita, juga
mereka tidak pandai bergelantungan seperti kau, tapi mereka berhasil sampai di
puncak Gunung Was dan kembali dengan selamat.” kata Andra berusaha meyakinkan
Sia.
Sambil mengatur
pernafasan, Sia pun yakin pada perkataan Andra dan mulai mengambil posisi untuk
menyeberang. Perlahan-lahan dengan sangat hati-hati, Sia menyeberang. Andra
mengamati gerak-gerik Sia, memastikan agar temannya sampai di seberang dengan
selamat, sambil sesekali meneriaki “Konsentrasi, Sia!”.
Akhirnya mereka berdua
sampai di seberang. Sia merasa bangga pada dirinya sendiri karena ia bisa
mengalahkan rasa takutnya. Namun rasa bangga itu tidak berlangsung lama karena
perjalanan menuju puncak masih cukup jauh, dan tidak menutup kemungkinan mereka
menemui rintangan yang lebih berat.
Setelah bersusah payah
melewati berbagai rintangan, dengan hanya berbekal tekad dan sabar, sampailah
mereka di puncak Gunung Was tepat saat dini hari. Hanya tinggal beberapa jam
mereka akan menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Was. Benar saja, tak
lama kemudian matahari mulai naik, sinarnya sedikit demi sedikit menerangi
puncak Gunung Was. Andra dan Sia takjub mendapati mereka seperti berada di atas
awan.
“Coba saja Cendana mau
bersabar sedikit dan tidak cepat berpuas diri hanya menikmati danau di bawah
tadi.” Kata Sia.
“Betul sekali,” balas
Andra.
“Terima kasih Andra,
sudah menyemangati aku, kalau bukan karena kau, aku pasti sudah menyerah saat
menyeberang jurang tadi.” Kata Sia.
Setelah puas menikmati
puncak Gunung Was bak negeri di atas awan, Andra dan Sia kembali ke Desa Rambo
dan berkumpul dengan keluarga masing-masing. Mereka berhasil menjadi penduduk
desa pertama yang sampai ke puncak Gunung Was. Cerita mereka tersebar ke
seluruh penjuru desa, yang membuat mereka dikagumi oleh penduduk desa.
***
Pesan
Moral : Jika kita ingin berhasil dalam suatu perkara, kita
harus bersabar dan ikhlas menghadapi segala rintangan, serta tidak cepat
berpuas diri, karena buah dari kesabaran adalah hasil yang lebih indah dari apa
yang kita harapkan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat dan mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.
Salam kenal,
Hessa Kartika