Friday, January 31, 2020

BUNDA BERKISAH PART #7 : EKSPEDISI GUNUNG WAS




EKSPEDISI GUNUNG WAS
Oleh: Fathika Fitrania

Di lereng gunung Was terdapat desa bernama Desa Rambo. Pemimpin Desa Rambo sangat bijak dan menjunjung tinggi kerukunan antar hewan. Penduduknya diizinkan untuk berburu di hutan, namun dilarang untuk saling memangsa dan berebut bahan makanan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk desa biasanya pergi ke pasar Pih, di sana tersedia hewan ternak, sayur-mayur dan tanaman obat.

Cendana si panda, Andra si rakun dan Sia si monyet adalah penduduk Desa Rambo, mereka bersahabat. Tiga sekawan itu gemar berburu di hutan yang tak lain adalah jalur pendakian Gunung Was. Hal tersebut membuat mereka kerap bertemu dengan para pendaki Gunung Was.
“Ba! Lihat apa ini?” seru Sia yang berniat menakut-nakuti Cendana dengan laba-laba yang ia temukan.
“Cukup, Sia!” ketus Cendana yang sudah mulai bosan dengan ulah Sia.
“Teman-teman, ketemu!” seru Andra sembari mencabut tanaman gingseng.
Tidak hanya memburu hewan, mereka bertiga juga memburu tanaman langka yang dipercaya bisa menjadi obat, lalu mereka menjualnya ke pedagang di pasar Pih.  Para pedagang tidak asing lagi dengan mereka, justru para pedagang merasa terbantu dan selalu menanti  hasil buruan mereka. Para pedagang dan penduduk Desa Rambo menyebut tiga sekawan itu dengan sebutan Cendrawasih. Tidak memiliki makna tertentu, Cendrawasih hanyalah singkatan untuk menyebut nama Cendana, Andra dan Sia.
Suatu ketika saat Cendrawasih sedang berburu di hutan, terlihat sekelompok harimau pendaki yang sedang menuruni tebing. Tampaknya para harimau itu dalam perjalanan pulang setelah melakukan pendakian.
“Hai anak-anak, apa yang sedang kalian lakukan?” sapa salah satu harimau pendaki kepada Cendrawasih.
Cendana yang sedang membidik burung pun menoleh, begitupula Andra yang sedang menyiapkan jebakan.
“Kami sedang berburu bung, ada yang bisa kami bantu?” tanya Sia sambil bergelantungan di pohon.
“Oh tidak ada, kami sudah selesai mendaki dan hendak pulang ke rumah”.
“Kalian pemuda Desa Rambo sangat beruntung bisa sering menikmati pemandangan dari puncak gunung Was. Dari semua gunung yang sudah kami daki, tidak ada pemandangan seindah puncak Was,” kata harimau yang lain.
Cendrawasih pun saling tatap, sebetulnya diantara mereka bertiga belum ada yang pernah mendaki Gunung Was.
Malam hari di rumah keluarga rakun, Andra tengah lahap menyantap makan malam.
“Papa rakun, apakah papa pernah ke puncak Gunung Was?” tanya Andra. Tampaknya ia masih kepikiran soal pertemuannya dengan harimau tadi.
Papa rakun pun menjelaskan, meskipun berada di lereng gunung Was, penduduk Desa Rambo belum pernah ada yang sampai ke puncak Gunung Was. Mendengar hal itu, muncul dalam diri Andra keinginan untuk menjadi penduduk desa pertama yang sampai ke puncak Was. Esok hari saat di sekolah, ia pun mengungkapkan keinginannya pada kedua sahabatnya. Ternyata mereka bertiga memiliki pikiran yang sama. Alhasil mereka pun berencana melakukan pendakian ke Gunung Was. Mereka sepakat untuk memulai pendakian pada pekan depan saat libur sekolah tiba.
Hari yang dinantikan tiba, Cendrawasih berkumpul di rumah keluarga rakun sebelum memulai pendakian.  Setelah melakukan persiapan selama sepekan terakhir, mereka terlihat siap memulai pendakian. Usai berpamitan dengan orang tua, mereka mulai berjalan menuju jalur pendakian Gunung Was.
Menyusuri hutan adalah hal biasa bagi Cendrawasih, mereka berhasil melewati hutan tanpa masalah. Lalu, sampailah mereka di dasar tebing yang terjal. Mereka saling bertatapan. Tampaknya tidak ada jalan lain selain memanjat tebing itu. Sebelum mulai memanjat, mereka menyempatkan diri untuk istirahat dan makan bekal terlebih dahulu.
Andra dan Cendana sama-sama memiliki cakar yang tajam. Menguntungkan bagi mereka karena cakarnya bisa menancap di rongga-rongga bebatuan. Sedangkan Sia berayun dari satu pohon ke pohon lain yang tumbuh di sekeliling tebing. Tidak banyak pohon yang bisa digelantungi, sehingga Sia sedikit kesulitan menaiki tebing itu. Namun hal tersebut tidak murunkan semangat Sia, ia tetap berusaha meraih pohon meskipun jaraknya jauh demi mencapai permukaan tebing.
Sesampainya di permukaan tebing, mereka disuguhkan dengan hamparan padang rumput hijau nan indah. Di ujung jalan, tampak sebuah danau. Mereka dengan riang berlari menuju danau.
“Indah sekali !” seru Cendana.
“Belum pernah aku melihat pemandangan seindah ini,” kata Andra.
Setelah beberapa menit menghirup udara segar dan menikmati pemandangan danau, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Ketika hendak berjalan,
“Teman-teman sepertinya aku sudah puas dengan keindahan danau ini,” kata Cendana, yang langsung membuat Andra dan Sia menoleh. Cendana merasa cukup dengan keindahan danau hingga membuatnya tidak ingin melanjutkan perjalanan.
“Bagaimana bisa, setelah susah payah memanjat tebing, kau hanya ingin memandangi danau itu?” protes Sia.
Cendana yang asyik mengunyah bambu tidak mengindahkan kata-kata Sia. Andra pun turut membujuk Cendana. Namun sayang sekali, bujuk rayu yang dilakukan Andra dan Sia untuk mengembalikan semangat Cendana tidak membuahkan hasil. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan tanpa Cendana.
Medan yang dilalui Andra dan Sia semakin ekstrim, jalan berpasir berubah menjadi tanah yang tidak beraturan, jalan setapak semakin sempit dihimpit jurang dan tebing. Sesekali Sia mengeluh saat melewati jalan tanpa pepohonan karena ia jadi harus berjalan.  Sementara itu, Andra tanpa berkeluh kesah menghadapi seluruh rintangan sembari menyemangati Sia.
Sampailah mereka disebuah tempat yang mengharuskan mereka menyeberangi jurang di atas sebatang kayu. Andra si rakun bisa dengan cepat merambat di atas kayu, namun ia mendahulukan Sia.
“Sia, menyeberanglah dulu, sepertinya kayu ini  tidak kuat jika dilewati kita berdua secara bersamaan,” kata Andra.
“Sebetulnya aku takut Andra, aku rasa cengkramanku tidak akan kuat untuk menyeberang sejauh itu,” balas Sia, ragu.
“Kau ingat para harimau pendaki yang kita temui? Mereka jauh lebih besar dan berat daripada kita, juga mereka tidak pandai bergelantungan seperti kau, tapi mereka berhasil sampai di puncak Gunung Was dan kembali dengan selamat.” kata Andra berusaha meyakinkan Sia.
Sambil mengatur pernafasan, Sia pun yakin pada perkataan Andra dan mulai mengambil posisi untuk menyeberang. Perlahan-lahan dengan sangat hati-hati, Sia menyeberang. Andra mengamati gerak-gerik Sia, memastikan agar temannya sampai di seberang dengan selamat, sambil sesekali meneriaki “Konsentrasi, Sia!”.
Akhirnya mereka berdua sampai di seberang. Sia merasa bangga pada dirinya sendiri karena ia bisa mengalahkan rasa takutnya. Namun rasa bangga itu tidak berlangsung lama karena perjalanan menuju puncak masih cukup jauh, dan tidak menutup kemungkinan mereka menemui rintangan yang lebih berat.
Setelah bersusah payah melewati berbagai rintangan, dengan hanya berbekal tekad dan sabar, sampailah mereka di puncak Gunung Was tepat saat dini hari. Hanya tinggal beberapa jam mereka akan menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Was. Benar saja, tak lama kemudian matahari mulai naik, sinarnya sedikit demi sedikit menerangi puncak Gunung Was. Andra dan Sia takjub mendapati mereka seperti berada di atas awan.
“Coba saja Cendana mau bersabar sedikit dan tidak cepat berpuas diri hanya menikmati danau di bawah tadi.” Kata Sia.
“Betul sekali,” balas Andra.
“Terima kasih Andra, sudah menyemangati aku, kalau bukan karena kau, aku pasti sudah menyerah saat menyeberang jurang tadi.” Kata Sia.
Setelah puas menikmati puncak Gunung Was bak negeri di atas awan, Andra dan Sia kembali ke Desa Rambo dan berkumpul dengan keluarga masing-masing. Mereka berhasil menjadi penduduk desa pertama yang sampai ke puncak Gunung Was. Cerita mereka tersebar ke seluruh penjuru desa, yang membuat mereka dikagumi oleh penduduk desa.

***

Pesan Moral : Jika kita ingin berhasil dalam suatu perkara, kita harus bersabar dan ikhlas menghadapi segala rintangan, serta tidak cepat berpuas diri, karena buah dari kesabaran adalah hasil yang lebih indah dari apa yang kita harapkan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat dan mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.


Salam kenal,


Hessa Kartika