Friday, January 31, 2020

BUNDA BERKISAH PART #5 : DANAU IMPIAN BELISI





DANAU IMPIAN BELISI BELALANG
Oleh: Saras Hijrah

Di siang hari yang cukup panas, dua belalang Beli dan Beni sedang bersantai. Beni sang sepupu baru saja mengunjungi danau yang indah, udaranya sejuk, di pinggiran danau banyak rumput dan semak mengelilinginya,
“Udaranya sangat sejuk, pasti Kau betah bermain di sana, Beli. Kau jangan takut kelaparan karena danau itu seperti surga bagi kita, banyak makanan di depan mata kita.” ujar Beni.”
 “Baru sekali itu Aku menemukan danau yang begitu indah. Kujamin Kau akan menyukainya,” garansi Beni sambil berlalu tanpa memberi kesempatan Beli menanggapinya.
Seumur hidup Beli hanya tinggal di semak sekitar lapangan rumput. Beli memang belum pernah pergi jauh dari rumahnya. Ia hidup bersama ibu dan adiknya Nimfi yang masih kecil. Sepulang sekolah, ia harus membantu menjaga adiknya yang masih berbentuk nimfa agar tidak dimangsa oleh para musuh seperti  katak, serangga yang berukuran lebih besar dari belalang, dan beberapa jenis burung. Sedangkan ayah Beli sudah lama mati dimangsa burung Murai.
Spontan keinginannya untuk mengunjungi danau yang diceritakan Beli pun pupus.Dia menyimpan erat impiannya. Beli pun tersadar banyak tugas yang harus ia selesaikan hari itu. Ia bergegas melompat ke tanaman perdu dan mencari makan untuk adiknya.
 **
“Tenang, damai, indah. Tenang, damai, indah. Ayolah Beli, pergilah ke danau itu,” suara Beni teringang-ngiang di telinga Beli.Bruk, dan Beli terjatuh.
 “Ternyata Akubermimpi” ujar Beli lirih.
 Dikucek matanya danBeli berpikir mungkin ia harus mencoba pergi kesana. Tapi ia belum tahu arah ke danau itu. Keraguan mulai menghampiri Beli. Tiba-tiba ibunya masuk ke dalam kamarnya. Beli tersipu. Ibunya paham, ada sesuatu dengan anaknya.
“Ada apa, Nak?” Ibunya dengan lembut membelai kepala Beli. Ia menggeleng mencoba menenangkan Ibunya.
“Katakan saja, apa yang Kau inginkan. Sepertinya ada yang mengganjal. “ desak ibunya
.“Ibu, bolehkah aku berpetualang ke danau hijau yang pernah diceritakan Beni saudara kita?” tanya Beni.
Ibunya tersenyum. Ternyata hal ini yang diresahkan anak sulungnya.
 “Beli, pergilah. Sudah waktunya Kau melihat dunia lain di luar kampung kita ini. Apalagi besok mulai liburan sekolahmu. Kau butuh pengalaman agar dirimu makin kuat menjadi belalang dewasa.” tandas Ibunya.
Beli memeluk ibunya dan berkata
 “Benarkah, Bu? Ibu mengizinkan aku pergi kesana?” Ibunya mengangguk tanda setuju.
 Beli segera pergi ke rumah Beni namun, sampai di rumah Beni, sepi tidak ada satupun belalang yang nampak disana. Ia pun memutuskan untuk menunggu sepupunya pulang.
Sejam, dua jam, Beli menunggu dan tiba-tiba terdengar ada suara berdehem di dekat Beli. Spontan ia menengok asal suara itu. Seekor belalang sembah tua ternyata telah mengawasinya beberapa menit lalu.
“Apa yang Kau lakukan disini belalang muda? Apa Kau mencari sesuatu?”
 “Ya Paman, Aku sedang menunggu sepupuku Beni,” jawab Beli gugup.
“Ladang ini hampir terbakar kemarin. Aku minta semua serangga pergi dari sini termasuk Beni. Ternyata hari ini Kau datang. Pergilah, tak ada yang bisa Kau dapatkan disini,“ ujar belalang sembah itu.
Beli lemas, dengan langkah gontai, ia segera meninggalkan tempat yang pernah ditinggali sepupunya. Sebelum ia benar-benar berlalu dari tempat itu, belalang sembah itu memanggilnya.
“Hei anak muda, sepertinya aku pernah melihatmu. Apakah Kau anak dari Beno?” Beli sontak menengok. “Ya, Paman. Aku benar anak Beno. Dimana Paman kenal mendiang ayahku?” Beli tercengang. Belalang Tua itu kembali tertawa.
“Kau belum kenal aku ya? Aku Sembo. Kawanku banyak, anak muda. Kami biasa berpetualang bersama. Menempuh perjalanan panjang bersama. Suka duka bersama. Aku pernah berpetualang jauh sampai sebuah danau yang sangat indah. Rumput dan semak mengelilinginya. Udaranya sejuk.” ujar Paman Sembo.
Mendengar cerita itu, hati Beli berdenyut kencang. Danau impian yang akan ditujunya, sama dengan cerita paman itu.
 “Paman, bisakah Kau tunjukkan jalan ke arah danau yang Paman ceritakan itu?” tanya Beli. Ia makin tak sabar.
 “Anak muda ketahuilah danau itu sangat jauh letaknya dari sini. Dan banyak sekali rintangan menuju kesana. Belum lagi musuh siap mengintaimu. Apakah Kau siap? “ tanya Paman Sembo meragukan Beli.
Beli mencoba meyakinkan Paman Sembo dengan bersedia belajar pada belalang tua itu. Akhirnya Paman Sembo mengabulkan keinginan belalang muda itu. Ia berjanji akan mengajari Beli esok hari.
Beli sangat bersemangat hari ini,  ia segara melompat ke Bukit Tusam kediaman Paman Sembo. Sang Paman tak kalah senang karena ada belalang muda yang mau belajar kepadanya. Karena banyak didapatinya belalang muda yang angkuh dan kurang sopan. Namun, Sembo melihat hal berbeda pada Beli. Ia santun, dan semangat belajarnya tinggi. Ia ikuti semua nasihat sang paman dan mulai melatih kakinya agar luwes dalam melompat. Beli melatihnya tiap hari.
Sampai hari yang ditunggu tiba. Beli hampir tak bisa tidur semalam karena hari ini adalah peristiwa besar dalam hidupnya. Dia akan menikmati liburan sekolahnya namun di sisi lain dia harus meninggalkan ibu dan adiknya. Ibunya melepas dengan senyum dan mendoakan Beli akan sampai ke danau itu dan pulang dalam keadaan selamat. Paman Sembo tak disangka juga datang pagi itu.
 “Beruntung kau Beli, aku ada urusan di ladang yang nanti kau lewati. Aku bisa menemanimu sampai ladang itu. Selanjutnya, Kau akan berjuang seorang diri.” kata Paman Sembo. Beli tak menyangka, bantuan sudah didapat di awal perjalanannya.
Berangkatlah dua belalang berbeda generasi itu ke arah danau Impian Beli. Satu, dua ilalang tinggi, mereka lompati. Semak belukar, sawah, Padang rumput yang mulai menguning karena panasnya kemarau juga mereka lalui dengan suka cita. Pak Sembo teringat masa mudanya, berkelana, baik sendiri maupun berkelompok, sungguh menyenangkan. Hari itu pun menyenangkan baginya karena di sampingnya ada belalang muda yang kelak menjadi penerusnya. Belalang yang bersemangat dan tangguh melewati rintangan.
Hap, sampailah mereka di ladang tujuan akhir perjalanan Paman Sembo. Perintah Paman Sembo untuk tetap berhati-hati terhadap pemangsa dicatat dengan baik di benak Beli. Segera Beli melompat lagi. Ia tak ingin kehabisan waktu. Ia ingin segera sampai ke danau impiannya.
Sampai dia sebuah bukit, Beli berhenti. Kakinya terasa kaku, ia berpikir untuk istirahat. Sambil mengamati sekeliling, Beli melemaskan kakinya. Beberapa ujung rumput menjadi santapannya siang itu. Tiba-tiba terdengar suara, “Ngung-ngung” . Beli pikir ada pemangsa yang siap menerkamnya. Dadanya berdegup kencang. Saat makin jelas wujud asal suara itu, Beli tersenyum lega. Ternyata seekor lebah sedang terbang rendah ke arah Beli. Lebah itu tak mengganggunya, ia hanya hinggap untuk menghisap nektar bunga.
Beli pun melanjutkan sisa perjalanannya, dan sampai di jalan raya yang biasa dilewati manusia, dia berhenti. Beli menunggu sepi. Roda kendaraan manusia dapat dengan mudah menggilas tubuhnya. Hap, hap. Lompatan demi lompatan Beli lakukan kali ini dengan sangat hati-hati. Satu bukit lagi dan aku akan sampai batin Beli.
Dan sampailah Beli bukit terakhir. Dari puncak bukit itu terlihat jelas danau impiannya terbentang luas. Matanya terbelalak kagum dengan ciptaan Tuhannya. Danau ini benar-benar indah. Samar-samar ia mendengar suara katak mengorek, kumbang menggerak-gerakkan kaki belakangnya sehingga terdengar irama yang teratur, angin berhembus lembut seolah menyambut kedatangan Beli.
Beli segera menuju tepian danau dan melompat-lompat kegirangan merayakan keberhasilannya mencapai danau itu. Beberapa semut melihatnya dengan tertawa, namun semut-semut itu segera kembali melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan makanan. Dari tepian danau, Beli dapat melihat kawanan ikan berkejaran, kepiting yang merangkak pelan menjauhi lubang di tanah, dan laba-laba yang sedang merapikan sarang yang baru dibuatnya. Beli melihat banyak hal baru yang belum pernah ia jumpai di kampungnya.
Setelah puas mengitari tepi danau, Beli pindah ke tengah semak yang sangat rapat. Dia butuh makan. Tapi dia ingat pesan Paman Sembo, untuk memilih daun yang agak tinggi agar bisa mengawasi sekitarnya tapi juga bukan di ujung daun agar tidak menarik burung untuk memangsanya.
Tak terasa, senja pun tiba. Ia putuskan untuk bermalam di batang sebuah pohon. Dan langit menggelap, tiba kawanan kunang-kunang di danau itu. Beli seakan melihat ratusan lampu kecil melayang, bak mendapatkan pertunjukan gratis di danau itu. Dan seketika Beli terlelap.
Langit telah berubah menjadi terang dan saatnya Beli kembali pulang ke rumah. Dalam hati ia berterima kasih pada Tuhan atas kesempatan indah dapat mengunjungi danau impiannya. Dan, hap, hap, lompatan demi lompatan Beli lakukan dengan percaya diri. Ia senang telah berhasil melewati jarak yang jauh, rintangan musuh, dan perangkap manusia. Bayangan akan rumahnya, ibunya, adiknya, Beni, dan Paman Sembo  hadir di pelupuk matanya. Ia tak sabar ingin bercerita seperti Beni bercerita danau impiannya dulu. Dan Beli pun telah siap ke petualangannya yang lain.
***


"Jadi, cita-cita Shahia apa?" tanyaku setelah merampungkan membaca cerita untuk anak-anak.

"Dokter bedah, Bun!" jawabnya lantang dan penuh keyakinan.

"Semoga Allah ijabah ya, Nak! Aaaamiiin ..."

"Aaamiiin ..," jawabnya.

"Jadi, supaya Shahia dapat meraih cita-cita, harus berusaha dan bersungguh-sungguhlah dalam mengejar cita-cita. Patuh dan hormati orang yang lebih tua dari kita. Dengarkan nasihat mereka yang sudah mempunyai pengalaman hidup lebih lama dari kita agar tiap kisah hidup dapat diambil pelajaran atau hikmahnya. Berusaha dan bersungguh-sungguhlah dalam mengejar cita-cita. Patuh dan hormati orang yang lebih tua dari kita. Dengarkan nasihat mereka yang sudah mempunyai pengalaman hidup lebih lama dari kita agar tiap kisah hidup dapat diambil pelajaran atau hikmahnya."

"Siap, Bunda!"


No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat dan mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.


Salam kenal,


Hessa Kartika