DANAU IMPIAN BELISI BELALANG
Oleh: Saras Hijrah
Di
siang hari yang cukup panas, dua belalang Beli dan Beni sedang bersantai. Beni
sang sepupu baru saja mengunjungi danau yang indah, udaranya sejuk, di
pinggiran danau banyak rumput dan semak mengelilinginya,
“Udaranya
sangat sejuk, pasti Kau betah bermain di sana, Beli. Kau jangan takut kelaparan
karena danau itu seperti surga bagi kita, banyak makanan di depan mata kita.”
ujar Beni.”
“Baru sekali itu Aku menemukan danau yang
begitu indah. Kujamin Kau akan menyukainya,” garansi Beni sambil berlalu tanpa
memberi kesempatan Beli menanggapinya.
Seumur
hidup Beli hanya tinggal di semak sekitar lapangan rumput. Beli memang belum pernah
pergi jauh dari rumahnya. Ia hidup bersama ibu dan adiknya Nimfi yang masih
kecil. Sepulang sekolah, ia harus membantu menjaga adiknya yang masih berbentuk
nimfa agar tidak dimangsa oleh para musuh seperti katak, serangga yang berukuran lebih besar
dari belalang, dan beberapa jenis burung. Sedangkan ayah Beli sudah lama mati
dimangsa burung Murai.
Spontan
keinginannya untuk mengunjungi danau yang diceritakan Beli pun pupus.Dia
menyimpan erat impiannya. Beli pun tersadar banyak tugas yang harus ia
selesaikan hari itu. Ia bergegas melompat ke tanaman perdu dan mencari makan
untuk adiknya.
**
“Tenang,
damai, indah. Tenang, damai, indah. Ayolah Beli, pergilah ke danau itu,” suara
Beni teringang-ngiang di telinga Beli.Bruk, dan Beli terjatuh.
“Ternyata Akubermimpi” ujar Beli lirih.
Dikucek matanya danBeli berpikir mungkin ia
harus mencoba pergi kesana. Tapi ia belum tahu arah ke danau itu. Keraguan
mulai menghampiri Beli. Tiba-tiba ibunya masuk ke dalam kamarnya. Beli tersipu.
Ibunya paham, ada sesuatu dengan anaknya.
“Ada
apa, Nak?” Ibunya dengan lembut membelai kepala Beli. Ia menggeleng mencoba
menenangkan Ibunya.
“Katakan
saja, apa yang Kau inginkan. Sepertinya ada yang mengganjal. “ desak ibunya
.“Ibu,
bolehkah aku berpetualang ke danau hijau yang pernah diceritakan Beni saudara
kita?” tanya Beni.
Ibunya
tersenyum. Ternyata hal ini yang diresahkan anak sulungnya.
“Beli, pergilah. Sudah waktunya Kau melihat
dunia lain di luar kampung kita ini. Apalagi besok mulai liburan sekolahmu. Kau
butuh pengalaman agar dirimu makin kuat menjadi belalang dewasa.” tandas
Ibunya.
Beli
memeluk ibunya dan berkata
“Benarkah, Bu? Ibu mengizinkan aku pergi
kesana?” Ibunya mengangguk tanda setuju.
Beli segera pergi ke rumah Beni namun, sampai
di rumah Beni, sepi tidak ada satupun belalang yang nampak disana. Ia pun
memutuskan untuk menunggu sepupunya pulang.
Sejam,
dua jam, Beli menunggu dan tiba-tiba terdengar ada suara berdehem di dekat
Beli. Spontan ia menengok asal suara itu. Seekor belalang sembah tua ternyata
telah mengawasinya beberapa menit lalu.
“Apa
yang Kau lakukan disini belalang muda? Apa Kau mencari sesuatu?”
“Ya Paman, Aku sedang menunggu sepupuku Beni,”
jawab Beli gugup.
“Ladang
ini hampir terbakar kemarin. Aku minta semua serangga pergi dari sini termasuk
Beni. Ternyata hari ini Kau datang. Pergilah, tak ada yang bisa Kau dapatkan
disini,“ ujar belalang sembah itu.
Beli
lemas, dengan langkah gontai, ia segera meninggalkan tempat yang pernah
ditinggali sepupunya. Sebelum ia benar-benar berlalu dari tempat itu, belalang
sembah itu memanggilnya.
“Hei
anak muda, sepertinya aku pernah melihatmu. Apakah Kau anak dari Beno?” Beli
sontak menengok. “Ya, Paman. Aku benar anak Beno. Dimana Paman kenal mendiang
ayahku?” Beli tercengang. Belalang Tua itu kembali tertawa.
“Kau
belum kenal aku ya? Aku Sembo. Kawanku banyak, anak muda. Kami biasa
berpetualang bersama. Menempuh perjalanan panjang bersama. Suka duka bersama.
Aku pernah berpetualang jauh sampai sebuah danau yang sangat indah. Rumput dan
semak mengelilinginya. Udaranya sejuk.” ujar Paman Sembo.
Mendengar
cerita itu, hati Beli berdenyut kencang. Danau impian yang akan ditujunya, sama
dengan cerita paman itu.
“Paman, bisakah Kau tunjukkan jalan ke arah
danau yang Paman ceritakan itu?” tanya Beli. Ia makin tak sabar.
“Anak muda ketahuilah danau itu sangat jauh
letaknya dari sini. Dan banyak sekali rintangan menuju kesana. Belum lagi musuh
siap mengintaimu. Apakah Kau siap? “ tanya Paman Sembo meragukan Beli.
Beli
mencoba meyakinkan Paman Sembo dengan bersedia belajar pada belalang tua itu.
Akhirnya Paman Sembo mengabulkan keinginan belalang muda itu. Ia berjanji akan
mengajari Beli esok hari.
Beli
sangat bersemangat hari ini, ia segara
melompat ke Bukit Tusam kediaman Paman Sembo. Sang Paman tak kalah senang
karena ada belalang muda yang mau belajar kepadanya. Karena banyak didapatinya
belalang muda yang angkuh dan kurang sopan. Namun, Sembo melihat hal berbeda
pada Beli. Ia santun, dan semangat belajarnya tinggi. Ia ikuti semua nasihat
sang paman dan mulai melatih kakinya agar luwes dalam melompat. Beli melatihnya
tiap hari.
Sampai
hari yang ditunggu tiba. Beli hampir tak bisa tidur semalam karena hari ini
adalah peristiwa besar dalam hidupnya. Dia akan menikmati liburan sekolahnya
namun di sisi lain dia harus meninggalkan ibu dan adiknya. Ibunya melepas
dengan senyum dan mendoakan Beli akan sampai ke danau itu dan pulang dalam
keadaan selamat. Paman Sembo tak disangka juga datang pagi itu.
“Beruntung kau Beli, aku ada urusan di ladang
yang nanti kau lewati. Aku bisa menemanimu sampai ladang itu. Selanjutnya, Kau akan
berjuang seorang diri.” kata Paman Sembo. Beli tak menyangka, bantuan sudah
didapat di awal perjalanannya.
Berangkatlah
dua belalang berbeda generasi itu ke arah danau Impian Beli. Satu, dua ilalang
tinggi, mereka lompati. Semak belukar, sawah, Padang rumput yang mulai
menguning karena panasnya kemarau juga mereka lalui dengan suka cita. Pak Sembo
teringat masa mudanya, berkelana, baik sendiri maupun berkelompok, sungguh
menyenangkan. Hari itu pun menyenangkan baginya karena di sampingnya ada
belalang muda yang kelak menjadi penerusnya. Belalang yang bersemangat dan
tangguh melewati rintangan.
Hap,
sampailah mereka di ladang tujuan akhir perjalanan Paman Sembo. Perintah Paman
Sembo untuk tetap berhati-hati terhadap pemangsa dicatat dengan baik di benak
Beli. Segera Beli melompat lagi. Ia tak ingin kehabisan waktu. Ia ingin segera
sampai ke danau impiannya.
Sampai
dia sebuah bukit, Beli berhenti. Kakinya terasa kaku, ia berpikir untuk
istirahat. Sambil mengamati sekeliling, Beli melemaskan kakinya. Beberapa ujung
rumput menjadi santapannya siang itu. Tiba-tiba terdengar suara, “Ngung-ngung”
. Beli pikir ada pemangsa yang siap menerkamnya. Dadanya berdegup kencang. Saat
makin jelas wujud asal suara itu, Beli tersenyum lega. Ternyata seekor lebah
sedang terbang rendah ke arah Beli. Lebah itu tak mengganggunya, ia hanya
hinggap untuk menghisap nektar bunga.
Beli
pun melanjutkan sisa perjalanannya, dan sampai di jalan raya yang biasa dilewati
manusia, dia berhenti. Beli menunggu sepi. Roda kendaraan manusia dapat dengan
mudah menggilas tubuhnya. Hap, hap. Lompatan demi lompatan Beli lakukan kali
ini dengan sangat hati-hati. Satu bukit
lagi dan aku akan sampai batin Beli.
Dan
sampailah Beli bukit terakhir. Dari puncak bukit itu terlihat jelas danau
impiannya terbentang luas. Matanya terbelalak kagum dengan ciptaan Tuhannya.
Danau ini benar-benar indah. Samar-samar ia mendengar suara katak mengorek,
kumbang menggerak-gerakkan kaki belakangnya sehingga terdengar irama yang
teratur, angin berhembus lembut seolah menyambut kedatangan Beli.
Beli
segera menuju tepian danau dan melompat-lompat kegirangan merayakan
keberhasilannya mencapai danau itu. Beberapa semut melihatnya dengan tertawa,
namun semut-semut itu segera kembali melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan
makanan. Dari tepian danau, Beli dapat melihat kawanan ikan berkejaran,
kepiting yang merangkak pelan menjauhi lubang di tanah, dan laba-laba yang
sedang merapikan sarang yang baru dibuatnya. Beli melihat banyak hal baru yang
belum pernah ia jumpai di kampungnya.
Setelah
puas mengitari tepi danau, Beli pindah ke tengah semak yang sangat rapat. Dia
butuh makan. Tapi dia ingat pesan Paman Sembo, untuk memilih daun yang agak
tinggi agar bisa mengawasi sekitarnya tapi juga bukan di ujung daun agar tidak
menarik burung untuk memangsanya.
Tak
terasa, senja pun tiba. Ia putuskan untuk bermalam di batang sebuah pohon. Dan
langit menggelap, tiba kawanan kunang-kunang di danau itu. Beli seakan melihat ratusan
lampu kecil melayang, bak mendapatkan pertunjukan gratis di danau itu. Dan
seketika Beli terlelap.
Langit
telah berubah menjadi terang dan saatnya Beli kembali pulang ke rumah. Dalam
hati ia berterima kasih pada Tuhan atas kesempatan indah dapat mengunjungi
danau impiannya. Dan, hap, hap, lompatan demi lompatan Beli lakukan dengan
percaya diri. Ia senang telah berhasil melewati jarak yang jauh, rintangan
musuh, dan perangkap manusia. Bayangan akan rumahnya, ibunya, adiknya, Beni, dan
Paman Sembo hadir di pelupuk matanya. Ia
tak sabar ingin bercerita seperti Beni bercerita danau impiannya dulu. Dan Beli
pun telah siap ke petualangannya yang lain.
***
"Jadi, cita-cita Shahia apa?" tanyaku setelah merampungkan membaca cerita untuk anak-anak.
"Dokter bedah, Bun!" jawabnya lantang dan penuh keyakinan.
"Semoga Allah ijabah ya, Nak! Aaaamiiin ..."
"Aaamiiin ..," jawabnya.
"Jadi, supaya Shahia dapat meraih cita-cita, harus berusaha
dan bersungguh-sungguhlah dalam mengejar cita-cita. Patuh dan hormati orang
yang lebih tua dari kita. Dengarkan nasihat mereka yang sudah mempunyai
pengalaman hidup lebih lama dari kita agar tiap kisah hidup dapat diambil
pelajaran atau hikmahnya. Berusaha
dan bersungguh-sungguhlah dalam mengejar cita-cita. Patuh dan hormati orang
yang lebih tua dari kita. Dengarkan nasihat mereka yang sudah mempunyai
pengalaman hidup lebih lama dari kita agar tiap kisah hidup dapat diambil
pelajaran atau hikmahnya."
"Siap, Bunda!"
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat dan mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.
Salam kenal,
Hessa Kartika