Saturday, February 1, 2020

BUNDA BERKISAH PART #10 : PIKO SI TIKUS DESA

February 01, 2020 0 Comments

Seperti biasa, sebelum tidur, Lula meminta dibacakan cerita. Masih bermodal buku dongeng fabel, aku mulai menawarkan beberapa judul.

"Mau cerita tentang apa? Jerapah? Tikus? Kucing?" 

"Yang kaya Mini Mouse itu apa Bun? Tikus ya? Mau cerita mini mouse Bun!"

"Oke, cerita tentang temennya Mini Mouse ya, namanya Piko. Ini karya temen baik Bunda loh. Yang nulis namanya tante Gustin, dokter hewan. Pasti seru nih cerita buatan tante Gustin. Bunda bacain ya!"

"Assiiiiik ..." Seru Lula sambil memelukku.

Dan, mulailah mamak berkisah.

***


PIKO SI TIKUS DESA
Oleh: Gustin Mahmudah

         Pagi yang cerah liburan sekolah yang ditunggu telah tiba. Piko telah mendapat izin dari ayah dan ibunya untuk mengunjungi sahabat penanya di kota. Sudah sejak lama Piko ingin melihat kota tempat sahabat penanya tinggal. Selama ini Piko hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya tinggal di kota melalui tulisan-tulisan sahabatnya. Makan di restoran, menonton di bioskop dan menyusuri ramainya jalan yang dilalui banyak kendaraan.
         Piko si tikus dan keluarganya tinggal di sebuah desa kecil. Rumahnya mungil diantara pohon-pohon rindang. Di sana tinggal beberapa keluarga tikus yang hidup dengan tenang dan damai. Mereka senang membantu satu sama lain.
         “Selamat pagi Ayah, selamat pagi Ibu.” Piko menyapa Ayah dan ibu yang sudah siap di meja makan dengan bersemangat.
         “Anak Ibu senang sekali hari ini, kenapa si?” tanya Ibu seolah lupa dengan rencana Piko.
         “Ah ibu ... Piko kan memang selalu senang dan bersemangat.” timpal Ayah sambil tersenyum.
         “Hari ini Piko mau ke tempat Moki bu.” jawab Piko sambil cemberut melihat respon dari Ayah dan Ibunya.
         “Iya sayang, jaga diri baik-baik ya di sana, bersikaplah sopan terhadap keluarga Moki dan jangan merepotkan.” ucap Ibu Piko.
         “Iya Ibu, jangan kangen ya, Piko akan menginap tiga hari lho,” Piko mencoba menggoda Ibunya sambil tertawa.
         “Owh jadi Piko nggak mau dikangenin Ayah sama Ibu nih.” Ibu menghampiri Piko dan menggelitik seluruh badannya.
         “Hahahahha” Piko tertawa geli.
         Begitulah suasana pagi di tengah keluarga Piko. Begitu hangat, akrab dan dekat satu sama lain. Setelah sarapan selesai, Piko mengambil tas ransel dan bersiap dengan topi dan sepatu kesayangannya. Ayahnya akan mengantarkanya sampai halte bus, setelah itu Piko akan turun di halte bus dekat rumah Moki yang berada di pusat kota.
         “Hati-hati sayang, Ini bawalah kue buatan Ibu untuk Moki dan keluarga. Jangan lupa sampaikan salam dari Ayah dan Ibu untuk Orang Tua Moki.” kata Ibu sambil memeluk Piko yang akan pergi.
         “Iya Ibu, Piko sayang Ibu.” kata Piko sambil memeluk erat Ibunya.
         “Ayo nak, Kita berangkat.” Ayah berteriak sambil bersiap menyalakan mesin motornya.
         Tidak sampai 10 menit Piko sudah sampai di halte bus. Setelah menunggu beberapa saat, bus pun datang, Piko bergegas naik ke dalam bus. Tidak lupa Piko berpamitan kepada Ayah. Sambil terus melaju meninggalkan Ayah, Piko melambaikan tangan dan akhirnya dia berhenti setelah ayahnya tidak terlihat lagi karena bus sudah melaju semakin jauh.
         Piko menikmati pemandangan, sambil membayangkan betapa bahagia dirinya sebentar lagi akan melihat suasana kota yang didambakan. Tidak terasa hampir 3 jam perjalanan, sebentar lagi Piko akan sampai di halte bus dekat rumah Moki. Bus melaju semakin pelan dan akhirnya berhenti di sebuah halte bus. Piko turun sambil melihat sekitar, di tengah ramainya orang Piko mencari sosok Moki.
         “Selamat datang Piko,” sapa seorang tikus kecil dengan penampilan stylish khas anak kota dengan senyum lebar.
         Sebentar melihat Piko langsung tau kalau itu adalah Moki. Mereka sempat bertukar foto lewat surat beberapa bulan yang lalu.
         “Halo ... Moki ya?” Piko menyodorkan tanganya, dan Moki menyambut tangan Piko seraya memeluknya.
         “Mari … lewat sini,” Moki menunjukan arah keluar halte menuju ke rumahnya.

         Baru berjalan 5 menit Piko berhenti di sebuah rumah di pinggir jalan raya. Rumah yang cukup besar dengan halaman yang tidak begitu luas.
         “Inikah rumahmu Moki?” Iya Piko mari silahkan masuk. Ajak Moki sambil membuka pintu.
         “Mama … ini teman Moki sudah sampai.” Teriak Moki sambil masuk ke dalam mencari ibunya.
         “Halo … ini Piko ya … selamat datang di rumah Moki yang sederhana ini,” Ibu Moki yang masih memakai celemek keluar menyapa Piko dengan ramah.
         “Iya tante saya Piko, Oh iya ini kue bikinan Ibu saya. Teriring salam dari Ayah dan Ibu semoga tante sekeluarga suka ya.” ucap Piko sambil menyerahkan kue bikinan ibunya.
         “Owh … kok repot-repot. Terima kasih ya.” Ibu Moki menerima kue yang dibawa Poki dengan senang.

***

         Selama beberapa hari Piko tinggal di kota, setiap hari Moki mengajaknya menjelajahi lingkungan sekitar. Jalan-jalan di pertokoan, sambil melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi dan lalu lalang kendaraan.  Bermain di taman dengan mainan yang banyak jenisnya, menonton di bioskop dan makan di restoran.
         Awalnya Piko begitu menikmati tinggal di kota. Namun suasana kota yang ramai membuatnya merindukan suasana desanya yang tenang. Dia rindu berjalan-jalan di hutan sambil menghirup udara segar dan mendengarkan nyanyian burung serta gemericik air. Dia rindu bermain bersama teman-temanya di sawah dan memancing di sungai yang airnya jernih. Dan tentu saja dia rindu Ayah dan ibunya, suasana rumah yang hangat dengan makanan sederhana yang lezat buatan Ibu.

***

         “Moki, sudah 3 hari aku menikmati suasana kota, sekarang saatnya aku pulang.” ucap Piko yang sudah siap dengan tas ransel dan sepatu serta topinya.
         “Terima kasih Piko sudah mau menghabiskan liburan di rumahku, jangan sungkan untuk main lagi ke sini.” jawab Moki
         “Sama-sama. Liburan berikutnya giliran kau yang harus menginap di rumahku ya” Piko berkata dengan penuh semangat.
         “Tentu saja. Aku ingin merasakan hidup di desa yang tenang … hehehehe” jawab Moki sambil tertawa.
         Piko berpamitan dengan ibu Moki. Tidak lupa ibu Moki menitipkan buah tangan untuk keluarga Piko di desa.
         “Hati-hati ya Piko, salam untuk Ayah dan Ibu ya” ucap ibu Moki sambil memeluk Piko.
         “Iya tante terima kasih untuk tiga hari yang menyenangkan ini … hehe.” Jawab Piko.
         Piko dan Moki berpisah di halte bus. Selanjutnya Piko tidak sabar untuk sampai di rumah memeluk ayah ibu dan menceritakan pengalamanya di kota. Sebagus apapun tempat di luar sana ternyata paling nyaman adalah tinggal di lingkungan sendiri, Piko bergumam dalam hati.

***

"Jadi, Nak, kita harus selalu bersyukur dim kita berada, dalam situasi dan kondisi apapun. Tempat yang paling nyaman untuk kembali pulang adalah keluarga (lingkungan tempat kita tinggal)."

"Makanya, sama Kak Aksan dan Kak Shahia harus saling sayang, yang akur, saling berbagi, saling membantu. Karena keluarga itu harus saling menolong, harus kompak. Oke?"

"Oke, Bun!"






Friday, January 31, 2020

BUNDA BERKISAH PART #9 : PETUALANGAN PASUKAN SEMUT

January 31, 2020 0 Comments

"Bun, semutnya banyak!!" Lula menjerit.

"Gak papa, Nak! Cuma semut aja kok heboh!" Aku tertawa.

"Semut itu hebat loh, tuh liat pasukan semut yang akur dan kompak banget. Itu mereka saling tolong-menolong. Selalu salaman kalau ketemu sesama semut." Aku menjelaskan. 

Aku ingat, saat editing salah satu naskah buku genre anak yang diterbitkan Pejuang Literasi, ada cerita tentang pasukan semut. Aku raih dari rak buku dan mulai bercerita pada Lula, bungsuku.

"Mau denger Bunda bacain cerita tentang semut?"

"Mauuuu!" jawabnya cepat.

"Oke, sini!"

***

PETUALANGAN PASUKAN  SEMUT
Oleh : Ayunaidawita

Semut-semut kecil
Saya mau tanya
Apakah kamu didalam tanah
Tidak takut cacing

Pagi yang cerah, matahari bersinar amat terik. Tak terasa hari liburan yang sangat ditunggu-tunggu telah tiba. Kami warga hutan rimba Sumatera merencanakan untuk liburan ke Pulau Mandeh, pulau yang sangat indah yang tidak kalah indahnya kalau dibandingkan dengan pulau-pulau yang ada di Bali. Kami membayangkan alangkah asyiknya bermain-main pasir dipantai, berenang ditengah tengah ombak yang membawa dan menghempaskan kita kembali  kepantai.
Semua warga Hutan Rimba sangat bahagia, mereka telah bersiap-siap untuk naik keatas mobil. Bekal diperjalanan sudah mereka persiapkan sejak semalam. Mulai dari  makanan yang enak-enak, pakaian untuk berenang, handuk bahkan kaca mata untuk berenang.
Semua warga satu persatu sudah mulai menaiki mobil, mereka naik sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Mereka mulai berebutan untuk mendapatkan tempat duduk yang mereka inginkan. Hanya saja ada pasukan semut yang tidak mau berebutan, mereka sepertinya kurang menyukai liburan yang telah direncanakan oleh warga Hutan Rimba.
Diam-diam pasukan semut keluar dari kerumunan binatang, dia merasa iri dengan binatang lain. Kalau saja tubuhnya tidak kecil dan jalannya cepat, alangkah bahagianya dia bermain-main di pantai.
“Huh, gara-gara tubuhku yang kecil ini aku jadi tak bisa menikmati liburan di pantai. Aku tidak bisa berenang, kalau ombak datang aku pasti hanyut dibawa oleh ombak.”
“Tiba-tiba terdengar suara ajakan, ayo kita ikut, Nak! Aku tahu suatu tempat yang dapat mengajakmu untuk menikmati liburan”.
Mendengar ajakan tadi pasukan semut kembali bersemangat untuk pergi, dengan bernyanyi-nyayi kecil mereka mengangkat semua barang-barang keperluan keatas mobil. Mereka sedang membayangkan kemana  kira-kira kita akan dibawa liburannya.
Sepanjang perjalanan warga Hutan Rimba sangatlah bahagia, pemandangan yang begitu indah mereka lewati.Mereka juga melewati desa terindah didunia,desa yang paling dibanggakan oleh warga Sumatera Barat khususnya Kabupaten Tanah Datar. Mereka menghabiskan waktu sepanjang perjalanan dengan berkaroeke dan bermain tebak-tebakkan.
Perjalanan ini memang cukup melelahkan, setelah naik mobil selama kurang lebih empat jam kemudian naik speed boat selama setengah jam, karena kami berangkat sudah kesiangan maka sampai dilokasi hari sudah sore. Sampai dilokasi semua warga berebutan mencari kamar tempat istirahat walaupun sebenarnya sudah diatur oleh kepala rombongan.
Setelah kami semua istirahat, mandi semua kami segera menuju  tempat yang telah disediakan oleh panitia, disana panitia rombongan sudah mempersiapkan acara pesta pada malam itu.
 “Asyik pasti disana banyak makanan! Aku bisa makan sepuasnya! Sorak Ketty sianak kucing. Aku juga bisa makan biji-bijian kan? Oh ya, bagi para ulat kalian tenang saja, aku tak akan memakan kalian kok! Pekik Ckacky si ayam jago”.
Belalang asyik memainkan biola kesayangan sambil bernyanyi dan menari. Rere sang semut juga tidak mau ketinggalan, Rere menari sangatlah lincah dan badannya yang langsing, mungilmeliuk-liuk lemah gemulai sepeti mau patah.
“Ayolah teman-teman marilah kita nikmati liburan ini. Mari kita bernyanyi dan menari, kita habiskan malam ini dengan penuh kegembiraan” ungkap Rere sang semut.
Mendengar ajakan dari temannya kupu-kupu tak mau ketinggalan. Tariannya semakin indah memukau semua warga hutan rimba yang sedang menikmati liburan.Heli si anjing hutan, mencoba untuk menirukan tarian kupu-kupu dan semut namun tidak bisa.
“Kenapa aku tidak bisa seperti kupu-kupu, padahal aku cantik menurut teman-teman.
Percuma aku cantik kalau aku tidak bisa menari” ujarHeli dengan sedih.
“Tak usah sedih teman, Kita kan kesini untuk bersenang-senang, kalaupun kamu tidak bisa menari pasti kamu bisa bernyanyi. Mari kita nikmati malam ini sepuas-puasnya,nanti kalau sudah mulai sekolah kita tidak bisa lagi kesini” ujar Rere.
Akhirnya semua warga hutan rimba yang ikut berliburan kekawasan Mandeh dapat menikmati malam yang sangat menyenangkan.
Keesokkan harinya, mereka semua warga Hutan Rimba menuju kepantai,semua binatang sudah tak sabar karena pantai yang sudah memanggil-manggil. Merekapun segera meluncur kepantai, menyentuh dan bersalaman dengan air laut.
Semua warga Hutan Rimba kecuali Rere dan pasukan semut,sudah siap untuk berbasah-basahan bermain air laut. Pantai yang ada dikawasan Mandeh ini memang begitu cantik, airnya bersih, pantainya landai, pasirnya putih halus, ombaknya kecil, sehingga mereka bisa bermain-main dibibir pantai tanpa harus takut terbawa arus ombak.
Rere dan pasukan semut, hanya bisa memandang teman-temanya yang sedang bergembira. Mereka takut terseret oleh ombak, badannya yang kecil itu tidak akan bisa melawan arus ombak. Mereka sedih tidak bisa ikut bermain air.
Seekor rusa yang biasa mereka panggil paman Rubby melihat kesedihan yang dirasakan oleh semut, dia mengajak semua semut agar dapat mengikutinya. Mereka mengikuti paman Rubby, mereka tidak tahu kemana mereka akan dibawa oleh paman Rubby.
“Ayo teman-teman ikuti aku, aku akan mengajakmu  kesuatu tempat yang bagus dan menyenangkan” ajak Paman Rubby.
“Kita kemana paman?” tanya Rere.
Paman Rubby tidak menjawab pertanyaan Rere. Akhirnya sampailah mereka disuatu tempat.
“Paman ini tempat apa?”Rere kembali bertanya.
“Nah kita akan berjalan diperbukitan ini, kita menuju ke atas.Apakah Kalian mau ikut?” kata paman Rubby.
“Tapi paman, apakah kami akan sanggup keatas sana? Badan kami kecil tentu banyak halangan-halangan yang harus kami lewati” jawab Rere mewakili pasukan semut.
Mulailah mereka berjalan bersama-sama. Tanpa terasa mereka sudah sampai dipertengahan perjalanan. Mereka pun beristirahat, ternyata persediaan air minum mereka sudah habis.
”Paman rubby, air minum kita habis sedangkan perjalanan kita masih jauh, tanya Rere.”
“Nanti kita cari sumber mata air, kata paman Rubby.”
“Rere sudah merasa tak kuat lagi Paman, aku nggak sangggup lagi berjalan, kakiku sakit sekali.”
Semut yang lain merasa kasihan sekali melihat Rere, nafasnya sesak.Mereka menolong Rere dengan berganti-gantian memapah Rere.
Jalan yang mereka lewati ternyata semakin terjal, satu persatu semut merasa tidak kuat lagi, mereka saling berpegangan tangan untuk menaiki bukit  itu. Semut yang masih kuat menggendong sebahagian  temannya yang sudah lemah. Mereka saling membantu agar mereka sampai ke tujuan. Sebagian semut  mencari air minum untuk teman-temannya.
Perjalanan yang sangat melelahkan, akhirnya pasukan semut sampai juga ke puncak bukit Mandeh. Rere yang tadinya lemas, setelah sampai diatas bukit bersorak kegirangan.
”Teman-teman kesinilah, lihatlah kebawah, pemandangan yang sangat indah sekali,jalan yang berliku-liku, laut yang terbentang luas. Tidak sia-sia kita melakukan perjalanan yang sangat melelahkan.”
Teman-teman Rere semua terkejut dan melihat kebawah.
“Rere, kita bisa juga melihat teman-teman kita yang sedang bermain dipantai. Wow...indahnya , Subhanallah..alangkah indahnya ciptaan MuYa Allah.”
Paman Rubby, Rere dan teman-temannya mengabadikan pemandangan yang indah itu,walaupun mereka bersusah payah untuk naik kebukit , tapi setelah sampai diatas bukit hilanglah semua rasa lelah mereka.
“Rere..kamu tidak sedih lagi kan? Walaupun kamu badannya kecil dan tidak bisa berenang, tapi kamu mampu untuk naik bukit, berarti kamu memliki kelebihan. Paman bangga dengan kalian, kalian sangat kompak sekali. Kalian berusaha sampai kepuncak bukit dan menolong teman-teman kalian yang tidak sanggup lagi untuk berjalan. Dan kalian berusaha mencari air minum  untuk teman kalian yang sedang kehausan”. Ungkap Paman Rubby.
Setelah puas mereka menikmati pemandangan dan bermain-main dipuncak bukit Mandeh, tak terasa perut mereka sudah lapar. Semua warga semut dan Paman Rubbyberlari-lari menuju rumah makan. Pasukan semut tidak sedih lagi karena liburan mereka juga lebih asyik,walaupun mereka tidak bisa bermain dipantai,tetapi mereka bisa melihat pantai dari pemandangan bukit Mandeh.
“Hai teman-teman, hari ini semuanya senangkan? Nah, Sore ini kita akan  pulang. Semuanya harus bersiap-siap, sebentar lagi mobil kita akan datang menjemput. Jangan sampai ada yang ketinggalan ya, sapa ketua rombongan”.
Pasukan semut sangatlah bahagia sekali, mereka menikmati liburan dengan perjuangan yang sangat melelahkan tetapi merupakan liburan yang paling mengesankan bagi mereka. Mereka sangat bersyukur dengan liburan dapat mempererat tali silaturrami diantara warga hutan rimba.





Pesan moral :
Dari cerita tadi dapat kita ambil manfaatnya yaitu :
Semut memiliki sikap tolong menolong yang sangat tinggi, sikapini harus kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Tolong menolong adalah merupakan kegiatan membantu dikarenakan rasa simpati atau peduli terhadap orang lain baik berupa dalam bentuk benda, nasihat maupun tenaga.




BUNDA BERKISAH PART #8 : KANCIL BERAKSI

January 31, 2020 0 Comments

KANCIL BERAKSI DI KEBUN PAK TANI
Oleh: Sita Syahri

Alkisah di suatu siang, nampak Kancil yang sedang berlari dengan cepat. Ia melarikan diri setelah lolos dari terkaman Harimau. Selesai pembagian laporan hasil belajar, Harimau mendapat marah kedua orangtuanya. Tentu saja karena rapornya di hiasi warna merah. Harimau menganggap, semua gara-gara Kancil yang tak mau memberinya contekan.
Setelah beberapa lama berlari, Kancil merasa sangat kelelahan dan kelaparan. Tadinya ia ingin berjalan-jalan santai di tepi hutan, menikmati indahnya alam. Sekaligus menyegarkan pikiran setelah berjuang menghadapi soal-soal ujian. Gara-gara Harimau, di hari pertama liburan Kancil jadi kelelahan.
Kancil memandang sekelilingnya. Ternyata Ia sedang melewati sebuah kebun sayuran. Tanaman sayuran di kebun itu sangat subur. Perutnya makin keroncongan karena lapar. Tanpa pikir panjang, Kancil pun masuk ke kebun sayuran tersebut.Namun saat sampai di dalam kebun, ia sangat terkejut karena ada Pak Tani yang sedang berjaga.
Kancil takut kalau sampai Pak Tani melihat kemudian menangkapnya. Dengan cepat ia kembali ke dalam hutan. Ia berniat untuk kembali ke kebun jika hari telah gelap.
Saat hari mulai gelap karena malam, ia datang kembali. Dilihatnya Pak Tani keluar dari kebun sayurnya dan berjalan pulang. Sama sekali tidak menyadari jika kebunnya sudah di masuki oleh Kancil.
Setelah Pak Tani tidak kelihatan lagi, Kancil menggali lubang seukuran badannya di bawah pagar. Jadi dia bisa menerobos masuk ke kebun lewat lubang itu.
Begitu berhasil masuk, ia langsung makan dengan lahap beberapa macam sayuran, tak lupa buah kesukaannya, mentimun muda. Selesai makan dan merasa kenyang, ia langsung meninggalkan kebun. Ah, liburan kali ini aku bakal puas makan mentimun gratis di kebun ini, pikir Kancil.
Keesokan harinya ia berniat untuk datang kembali lewat lubang yang Ia buat di bawah pagar. Begitu seterusnya, hingga Pak Tani sadar, banyak tanaman di kebunnya yang rusak. Terutama di lahan sayuran dan mentimun.
‘’Ini pasti gara-gara si Kancil. Dasar Kancil nakal, berani-beraninya masuk dan merusak kebunku!" Seru Pak Tani Marah, "Aku pasti akan menangkapmu!"
Akhirnya setelah memeriksa keadaan kebunnya, Pak Tani menemukan lubang di bawah pagar, tempat si Kancil masuk ke dalam kebun. Dengan akal cerdiknya, kemudian Pak Tani segera menggali tanah dan membuat lubang yang sama. Tepat di samping lubang yang dibuat oleh Kancil.
Namun, Pak Tani menutup lubang buatannya dengan potongan ranting dan dedaunan. Itu adalah perangkap untuk menangkap si Kancil yang suka mencuri mentimun.
Dia sangat berharap malam nanti, perangkapnya dapat menjerat si Kancil.
Seperti biasa, saat sore hari Kancil mendatangi kebun Pak Tani. Sebelum memasuki kebun ia mengintip, untuk memastikan Pak Tani sudah pulang.Mengetahui situasi sudah aman, Kancil langsung masuk ke dalam lubang seperti biasanya.
Namun, alangkah terkejutnya ia, karena tiba-tiba saja lubang yang dimasukinya menjadi sangat dalam. Dia terjebak dan tidak bisa melompat keluar.
Kancil sangat ketakutan. Ia mondar-mandir berusaha tenang dan berfikir. Mencari cara untuk keluar dari lubang jebakan pak Tani.
Liburan kali ini kenapa banyak sekali gangguan, pikir kancil.
Namun, usahanya tak berbuah hasil. Kancil sangat berharap ada binatang lain yang melewati lubang ini  dan bisa menolongnya.
Tiba-tiba, seekor Kura-kura lewat dan melihat ke dalam lubang.
‘’Apa yang kamu lakukan di dalam lubang ini, Cil?’’ tanya Kura-kura.
‘’Aku sedang berdoa. Karena besok kiamat akan datang!’’ jawabnya sambil terus berdoa.
Kura-kura percaya kalau besok benar-benar akan kiamat. Ia pun ingin masuk ke dalam lubang untuk menyelamatkan diri. Kancil mengijinkannya, dengan syarat Kura-kura harus menuruti perintah Kancil.
Kura-kura pun masuk ke lubang dan ikut berdoa seperti Kancil.Beberapa saat kemudian, lewatlah seekor Kijang ldan melihat ke dalam lubang. Kijang pun langsung masuk ke dalam lubang begitu mendengar cerita Kancil dan Kura-kura.
Tak lama kemudian datanglah seekor Babi hutan. Ia juga terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh Kancil, bahwa besok hari kiamat. Setelah Babi hutan masuk, datanglah Rusa. Dan di susul kemudian Harimau yang ikut masuk ke dalam lubang. Rasa takut membuatnya lupa kalau dia marah kepada Kancil.
‘’Kita harus terus berdoa, agar besok dapat selamat," kata Kancil.
"Setuju," jawab semua hewan di dalam lubang.
Namun di suatu pagi, terciumlah bau kentut di antara mereka.
"Siapa yang kentut?’’ tanya Kancil tertawa tertahan  sambil menutup hidungnya.
Mereka pun saling pandang dan saling curiga. Kelima binatang tersebut kesal bukan kepalang karena yang kentut ternyata si Kancil. Harimau jadi ingat lagi rasa marahnya kepada Kancil.
"Dasar hewan kurang ajar! Menuduh hewan lain kentut tapi ternyata kau sendiri yang kentut!" hardik Harimau.
Dasar Kancil yang cerdik. Ia langsung mendapatkan ide.
"Maafkan aku, Harimau. Tak sengaja aku kentut," ujarnya sambil meringis.
Harimau yang marah tanpa sadar langsung mendorong Kancil hingga keluar dari lubang.
Mengetahui dirinya terbebas dari lubang, tentu saja Kancil gembira bukan kepalang. Inilah yang diharapkannya.
"Hore … Akhirnya aku bebas dari jebakan Pak Tani." ujarnya senang.
"Kau menipu kami?" tanya Babi Hutan sambil berteriak tak percaya.
“Dasar licik!” seru Kura-kura.
“Awas kau, Kancil!”teriak para hewan bersamaan.
“Maafkan aku teman-teman, apapun caranya aku harus selamat. Agar bisa menikmati liburan yang tinggal sebentar lagi,” kata Kancil sambil berlari cepat.
Takut salah satu dari binatang tersebut ada yang lolos dan mengejarnya. Ia terus berlari dengan sangat cepat masuk ke hutan, pulang ke rumah dan ke keluarganya.
----***----


Pesan moral:
1. Jangan mengambil apapun yang bukan milik kita.
2. Jangan panik kalau ada masalah, gunakan akal pikiran untuk menyelesaikan masalah.

BUNDA BERKISAH PART #7 : EKSPEDISI GUNUNG WAS

January 31, 2020 0 Comments



EKSPEDISI GUNUNG WAS
Oleh: Fathika Fitrania

Di lereng gunung Was terdapat desa bernama Desa Rambo. Pemimpin Desa Rambo sangat bijak dan menjunjung tinggi kerukunan antar hewan. Penduduknya diizinkan untuk berburu di hutan, namun dilarang untuk saling memangsa dan berebut bahan makanan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk desa biasanya pergi ke pasar Pih, di sana tersedia hewan ternak, sayur-mayur dan tanaman obat.

Cendana si panda, Andra si rakun dan Sia si monyet adalah penduduk Desa Rambo, mereka bersahabat. Tiga sekawan itu gemar berburu di hutan yang tak lain adalah jalur pendakian Gunung Was. Hal tersebut membuat mereka kerap bertemu dengan para pendaki Gunung Was.
“Ba! Lihat apa ini?” seru Sia yang berniat menakut-nakuti Cendana dengan laba-laba yang ia temukan.
“Cukup, Sia!” ketus Cendana yang sudah mulai bosan dengan ulah Sia.
“Teman-teman, ketemu!” seru Andra sembari mencabut tanaman gingseng.
Tidak hanya memburu hewan, mereka bertiga juga memburu tanaman langka yang dipercaya bisa menjadi obat, lalu mereka menjualnya ke pedagang di pasar Pih.  Para pedagang tidak asing lagi dengan mereka, justru para pedagang merasa terbantu dan selalu menanti  hasil buruan mereka. Para pedagang dan penduduk Desa Rambo menyebut tiga sekawan itu dengan sebutan Cendrawasih. Tidak memiliki makna tertentu, Cendrawasih hanyalah singkatan untuk menyebut nama Cendana, Andra dan Sia.
Suatu ketika saat Cendrawasih sedang berburu di hutan, terlihat sekelompok harimau pendaki yang sedang menuruni tebing. Tampaknya para harimau itu dalam perjalanan pulang setelah melakukan pendakian.
“Hai anak-anak, apa yang sedang kalian lakukan?” sapa salah satu harimau pendaki kepada Cendrawasih.
Cendana yang sedang membidik burung pun menoleh, begitupula Andra yang sedang menyiapkan jebakan.
“Kami sedang berburu bung, ada yang bisa kami bantu?” tanya Sia sambil bergelantungan di pohon.
“Oh tidak ada, kami sudah selesai mendaki dan hendak pulang ke rumah”.
“Kalian pemuda Desa Rambo sangat beruntung bisa sering menikmati pemandangan dari puncak gunung Was. Dari semua gunung yang sudah kami daki, tidak ada pemandangan seindah puncak Was,” kata harimau yang lain.
Cendrawasih pun saling tatap, sebetulnya diantara mereka bertiga belum ada yang pernah mendaki Gunung Was.
Malam hari di rumah keluarga rakun, Andra tengah lahap menyantap makan malam.
“Papa rakun, apakah papa pernah ke puncak Gunung Was?” tanya Andra. Tampaknya ia masih kepikiran soal pertemuannya dengan harimau tadi.
Papa rakun pun menjelaskan, meskipun berada di lereng gunung Was, penduduk Desa Rambo belum pernah ada yang sampai ke puncak Gunung Was. Mendengar hal itu, muncul dalam diri Andra keinginan untuk menjadi penduduk desa pertama yang sampai ke puncak Was. Esok hari saat di sekolah, ia pun mengungkapkan keinginannya pada kedua sahabatnya. Ternyata mereka bertiga memiliki pikiran yang sama. Alhasil mereka pun berencana melakukan pendakian ke Gunung Was. Mereka sepakat untuk memulai pendakian pada pekan depan saat libur sekolah tiba.
Hari yang dinantikan tiba, Cendrawasih berkumpul di rumah keluarga rakun sebelum memulai pendakian.  Setelah melakukan persiapan selama sepekan terakhir, mereka terlihat siap memulai pendakian. Usai berpamitan dengan orang tua, mereka mulai berjalan menuju jalur pendakian Gunung Was.
Menyusuri hutan adalah hal biasa bagi Cendrawasih, mereka berhasil melewati hutan tanpa masalah. Lalu, sampailah mereka di dasar tebing yang terjal. Mereka saling bertatapan. Tampaknya tidak ada jalan lain selain memanjat tebing itu. Sebelum mulai memanjat, mereka menyempatkan diri untuk istirahat dan makan bekal terlebih dahulu.
Andra dan Cendana sama-sama memiliki cakar yang tajam. Menguntungkan bagi mereka karena cakarnya bisa menancap di rongga-rongga bebatuan. Sedangkan Sia berayun dari satu pohon ke pohon lain yang tumbuh di sekeliling tebing. Tidak banyak pohon yang bisa digelantungi, sehingga Sia sedikit kesulitan menaiki tebing itu. Namun hal tersebut tidak murunkan semangat Sia, ia tetap berusaha meraih pohon meskipun jaraknya jauh demi mencapai permukaan tebing.
Sesampainya di permukaan tebing, mereka disuguhkan dengan hamparan padang rumput hijau nan indah. Di ujung jalan, tampak sebuah danau. Mereka dengan riang berlari menuju danau.
“Indah sekali !” seru Cendana.
“Belum pernah aku melihat pemandangan seindah ini,” kata Andra.
Setelah beberapa menit menghirup udara segar dan menikmati pemandangan danau, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Ketika hendak berjalan,
“Teman-teman sepertinya aku sudah puas dengan keindahan danau ini,” kata Cendana, yang langsung membuat Andra dan Sia menoleh. Cendana merasa cukup dengan keindahan danau hingga membuatnya tidak ingin melanjutkan perjalanan.
“Bagaimana bisa, setelah susah payah memanjat tebing, kau hanya ingin memandangi danau itu?” protes Sia.
Cendana yang asyik mengunyah bambu tidak mengindahkan kata-kata Sia. Andra pun turut membujuk Cendana. Namun sayang sekali, bujuk rayu yang dilakukan Andra dan Sia untuk mengembalikan semangat Cendana tidak membuahkan hasil. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan tanpa Cendana.
Medan yang dilalui Andra dan Sia semakin ekstrim, jalan berpasir berubah menjadi tanah yang tidak beraturan, jalan setapak semakin sempit dihimpit jurang dan tebing. Sesekali Sia mengeluh saat melewati jalan tanpa pepohonan karena ia jadi harus berjalan.  Sementara itu, Andra tanpa berkeluh kesah menghadapi seluruh rintangan sembari menyemangati Sia.
Sampailah mereka disebuah tempat yang mengharuskan mereka menyeberangi jurang di atas sebatang kayu. Andra si rakun bisa dengan cepat merambat di atas kayu, namun ia mendahulukan Sia.
“Sia, menyeberanglah dulu, sepertinya kayu ini  tidak kuat jika dilewati kita berdua secara bersamaan,” kata Andra.
“Sebetulnya aku takut Andra, aku rasa cengkramanku tidak akan kuat untuk menyeberang sejauh itu,” balas Sia, ragu.
“Kau ingat para harimau pendaki yang kita temui? Mereka jauh lebih besar dan berat daripada kita, juga mereka tidak pandai bergelantungan seperti kau, tapi mereka berhasil sampai di puncak Gunung Was dan kembali dengan selamat.” kata Andra berusaha meyakinkan Sia.
Sambil mengatur pernafasan, Sia pun yakin pada perkataan Andra dan mulai mengambil posisi untuk menyeberang. Perlahan-lahan dengan sangat hati-hati, Sia menyeberang. Andra mengamati gerak-gerik Sia, memastikan agar temannya sampai di seberang dengan selamat, sambil sesekali meneriaki “Konsentrasi, Sia!”.
Akhirnya mereka berdua sampai di seberang. Sia merasa bangga pada dirinya sendiri karena ia bisa mengalahkan rasa takutnya. Namun rasa bangga itu tidak berlangsung lama karena perjalanan menuju puncak masih cukup jauh, dan tidak menutup kemungkinan mereka menemui rintangan yang lebih berat.
Setelah bersusah payah melewati berbagai rintangan, dengan hanya berbekal tekad dan sabar, sampailah mereka di puncak Gunung Was tepat saat dini hari. Hanya tinggal beberapa jam mereka akan menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Was. Benar saja, tak lama kemudian matahari mulai naik, sinarnya sedikit demi sedikit menerangi puncak Gunung Was. Andra dan Sia takjub mendapati mereka seperti berada di atas awan.
“Coba saja Cendana mau bersabar sedikit dan tidak cepat berpuas diri hanya menikmati danau di bawah tadi.” Kata Sia.
“Betul sekali,” balas Andra.
“Terima kasih Andra, sudah menyemangati aku, kalau bukan karena kau, aku pasti sudah menyerah saat menyeberang jurang tadi.” Kata Sia.
Setelah puas menikmati puncak Gunung Was bak negeri di atas awan, Andra dan Sia kembali ke Desa Rambo dan berkumpul dengan keluarga masing-masing. Mereka berhasil menjadi penduduk desa pertama yang sampai ke puncak Gunung Was. Cerita mereka tersebar ke seluruh penjuru desa, yang membuat mereka dikagumi oleh penduduk desa.

***

Pesan Moral : Jika kita ingin berhasil dalam suatu perkara, kita harus bersabar dan ikhlas menghadapi segala rintangan, serta tidak cepat berpuas diri, karena buah dari kesabaran adalah hasil yang lebih indah dari apa yang kita harapkan.